Sunday, March 30, 2008

Hujan Es

Matahari yang tadinya terik, tiba-tiba meredup. Pagi yang tadinya cerah, tiba-tiba siangnya menjadi agak gelap. Awan yang tadinya lembut dan seputih kapas, tiba-tiba menjadi kelihatan sangat berat dan kelabu. Sekilatan cahaya putih perak menyayat awan yang berarak. Angin berkesiuran, menerbangkan sampah-sampah, dedaunan, debu, dan pasir-pasir. Bahkan beberapa kain-kain yang terjemur ikut dilanda dan dipagut oleh angin yang bertiup kencang itu. Sebuah suara menggelegar mengoyak langit yang semakin kelam.

Gelegar itu kemudian diikuti suara gemuruh dan deru air yang mendera genteng, mendera tanah, mendera semuanya. Tunggu, ternyata bukan hanya air. Ada benda padat, putih, dan keras menimpa pipiku. Dingin tiba-tiba menyengat kulitku.

Aku amati benda putih sebesar dua kali ibu jari tanganku itu. Es? Ya, es. Tepatnya butiran-butiran es sebesar dua kali ibu jari tanganku. Butiran itu menerpa pipiku dengan telak. Kemudian diikuti oleh butiran-butiran lain. Semakin menderas. Seolah peluru yang dimuntahkan dari awan, butiran-butiran itu menghujam ke bumi. Menimpa apa saja untuk kemudian mulai mencair.

Kembali sebuah guratan cahaya perak meretakkan gemawan. Kemudian diikuti oleh suara berdentum yang sangat keras. Angin semakin kencang. Beberapa dahan dan ranting seperti dipaksa meninggalkan batang. Luruh ke bumi bersama dedaunan. Kemudian terseret oleh deras air yang telah bercampur tanah dan terlihat kecoklatan.

Setengah jam berlalu. Butiran-butiran es mulai berkurang dan akhirnya menghilang. Kini tinggal tetesan air lembut yang masih turun. Namun waktu lebih kurang setengah jam itu sudah cukup bagi hujan es untuk memporakporandakan semuanya, memporakporandakan dedaunan, rerantingan, dedahanan, dan pepohonan. Juga Memporakporandakan genting kamarku.

Ya, setengah jam. Cukup setengah jam akan memporakporandakan semuanya, seperti kau. Kau yang sengaja atau tidak telah memporakporandakan semua mimpiku.

Saturday, March 29, 2008

Dua Buku Dari Makasar

19.00 Wib,
31 Maret 2008,
Toko Buku Ultimus, Jln. Lengkong Besar No. 127 Bandung
Sumber : H.U. Pikiran Rakyat

DUA penulis dari Makassar akan hadir di Toko Buku Ultimus, Jalan Lengkong Besar No. 127 Bandung pada 31 Maret 2008 pukul 19.30 WIB s.d. selesai. Kedua penulis, masing-masing Aan Mansyur (kumpulan puisinya Aku Hendak Pindah Rumah) dan Lily Yulianti (kumpulan cerpennya Makkunrai). Kedua buku dari Makassar ini akan diluncurkan bersamaan dengan menghadirkan pembicara Anjar “Beraja”, Lukman A. Sya, dan moderator Yopi Setia Umbara.

Acara diisi pembacaan puisi dan cerpen dari kedua buku yang dilakukan oleh, di antaranya, Lukman A Sya, Yopi Setia Umbara, Anjar, Sangdenai, Dian Hardiana, Heri Maja Kelana, Dian Hartati, Semi Ikra Anggara, Iwan M. Ridwan, dan Evi SR. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

Thursday, March 27, 2008

Lintas Dago - Merdeka

Tidak ada yang terlalu istimewa hari ini ketika aku kembali menapaki jejak sepanjang lintasan Dago - Merdeka. Seperti hari-hari sebelumnya, terik matahari yang tidak mampu lagi ditepis oleh pepohonan yang semakin jarang, debu dan asap dari knalpot kendaraan yang terhadang kemacetan, trotoar jalan yang semakin sempit karena dipakai sebagai lahan parkir, dan deru mesin-mesin berjalan yang memekakkan telinga, tetap menjadi santapanku ketika melintasi lintasan ini.

Perbedaannya hanya satu, hari ini aku justru tidak melihat mobil-mobil berwarna hijau dengan strip merah itu. Ya, tidak ada angkot hari ini. Tidak ada. Jalanan hari ini boleh di bilang eksklusif untuk kendaraan dengan plat nomor hitam. Angkot yang selama ini dituding sebagai biang kemacetan untuk hari ini istirah dulu karena mereka, pengusaha dan sopir angkot, mengadakan aksi mogok masal se-Bnadung raya.

Secara pribadi aku tidak peduli apakah angkot jalan atau mogok. Toh, seperti biasa aku lebih suka jalan kaki ketika menelusuri jalanan kota ini. Namun kemudian yang jadi perhatianku adalah tudingan selama ini yang ditujukan kepada angkot sebagai biang kemacetan kota. Hari ini, ketika angkot tidak beroperasi, jalanan tetap macet. Lintas Dago - Merdeka tetap padat merayap. Lihat saja hasil pandangan mata kamera sakuku ini.

Satu pertanyaanku kemudian, benarkah klaim selama ini yang mengatakan bahwa angkot adalah biang kemacetan? Menurutku tidak 100% benar. Bagaimana menurut Anda?

Thursday, March 20, 2008

melepasmu ke timur

melepasmu ke timur
seperti awal keberangkatanku 153 purnama lalu
pepohon tunduk dalam kesunyiannya
angin tiada berhembus
air tiada ricik
reranting tiada gemerisik

takzim dalam segumpal rasa
: kehilangan