Sunday, May 18, 2008

Temu Penyair Lima Kota dan Penolakan Penyair Muda Bandung

Tanggapan atas artikel opini S. Metron M. yang dimuat di Padang Ekspres Minggu, 4 Mei 2008
Artikel ini dimuat di Padang Ekspres Minggu, 18 Mei 2008


....Yang ironis, justru yang paling keras menolak acara Temu Penyair Lima Kota ini adalah penyair dari Bandung berdarah Minangkabau.

Membaca artikel opini di Padang Ekspres, Minggu, 04 Mei 2008, yang berjudul Temu Penyair 50 Kota, Sebuah Catatan Kritis, yang ditulis oleh S. Metron M (SMM) saya mencatat beberapa hal yang justru perlu juga dikritisi dari tulisan yang kritis ini. Beberapa hal dalam tulisan ini ternyata tidak tepat atau tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Saya tidak tahu kenapa hal itu terjadi dan saya tidak mau menduga-duga mengapa ketidaktepatan itu terjadi.

Dalam pelaksanaan sebuah kegiatan atau acara sastra, tentu saja panitia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Begitu juga dengan acara Temu Penyair Lima Kota (TPLK), 27-29 April 2008, di Kota Payakumbuh atau Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali (TPMJBB) yang saya dan teman-teman penyair muda Bandung laksanakan tahun 2005 lalu. TPMJBB mendapat dukungan dari Pemda. Terbukti bahwa kemudian penyair-penyair yang ikut serta menginap (tentu saja gratis) di Gelanggang Generasi Muda (GGM) Bandung –bukan di toko atau rumah orang seperti yang ditulis dalam artikel itu– yang merupakan milik Pemda Bandung. Perlu saya luruskan, memang ada penyair muda Bali yang menginap di rumah kontrakan saya pada waktu itu, tapi hal ini disebabkan mereka datang lebih awal dan mereka menambah waktu kunjungannya setelah acara tersebut. Akan tetapi, selama kegiatan, mereka justru menginap di GGM Bandung. Namun perbedaan dukungan antara TPLK dengan TPMJBB terletak pada “kepemilikan” acara. Seperti tercantum dalam proposal, jelas bahwa TPMJBB diselenggarakan oleh jaringan komunitas dengan dukungan dari berbagai pihak. Sementara itu TPLK, sesuai dengan proposal yang saya baca, acara ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Kota Payakumbuh. Inilah ketidakakuratan pertama.

Pernyataan Sikap Penyair Muda Bandung

Menyoalkan ketidakhadiran dan pernyataan sikap penyair muda Bandung pada acara TPLK, tentu kita tidak bisa lepas dari rentetan-rentetan kejadian yang melatarinya.

Temu Penyair Muda ini pertama kali digagas oleh beberapa orang penyair muda dari Bandung dan Denpasar. Setelah melakukan beberapa pembicaraan, baik lewat telepon, surat elektronik, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan tatap muka di Bandung pada awal tahun 2005, maka disepakati untuk mengadakan sebuah acara. Berangkat dari titik pijak sama atas keprihatinan bahwa penyair-penyair muda selama ini seringkali sangat sulit untuk eksis, baik itu di media maupun dalam kegiatan-kegiatan sastra lainnya, maka timbul kesepakatan untuk membuat sebuah “gerakan” untuk memperjuangkan eksistensi penyair-penyair muda. Untuk kali pertama disepakati untuk melaksanakan acara Temu Penyair Jawa Barat – Bali di Bandung sebagai tonggak awal. Pertimbangan kenapa hanya Jawa Barat dan Bali pada waktu itu karena acara itu adalah pijakan pertama. Nantinya kegiatan ini akan terus bergulir dan berkembang dengan mengajak rekan-rekan penyair muda dari daerah lain untuk bergabung dan hal itu mulai terwujud ketika pada tahun 2007 diadakan Temu Penyair Muda 4 Kota (TPMEK) di Jogjakarta yang merupakan kelanjutan TPMJBB.

Jadi, ketika kali pertama dicetuskan bukanlah semata sebagai acara kumpul-kumpul, diskusi, lalu baca puisi. Juga bukan dilandasi oleh semata ada gap antara penyair muda dengan penyair tua seperti yang ditulis SMM. Toh, saya dan penyair-penyair tua di Bandung juga sering duduk bersama, berdiskusi banyak hal. Ini adalah sebuah gerakan dari, oleh, dan untuk penyair muda untuk eksis dan maju bersama.

Kembali pada acara TPLK, saya sepakat dengan SMM bahwa ketika sebuah acara diniatkan sebagai penerus acara sebelumnya, tentu harus taat pada kesepakatan yang telah dibuat. Dalam rapat setelah acara Temu Penyair Muda 4 Kota di Jogjakarta, tahun 2007 lalu, disepakati (bukan ditunjuk) bahwa teman-teman (komunitas-komunitas sastra) di Padang menjadi tuan rumah selanjutnya. Tentu saja dengan konsep yang sama. Sedangkan masalah peserta, disepakati juga pada waktu itu bahwa, akan diperluas sesuai dengan kesanggupan teman-teman di Padang. Juga pada kesempatan itu disepakati bahwa tenggat waktu pelaksanaanya paling lambat bulan Agustus 2008. Untuk mempermudah komunikasi, maka dibuatlah mailing list “danaupuisi”.

Dalam perjalanannya kemudian, tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa acara itu akan diadakan di Payakumbuh dan Komunitas Intro yang menjadi pelaksananya. Pada awalnya saya dan teman-teman penyair muda Bandung dapat menerima kondisi ini. Namun ketika proposal acara sampai ke tangan saya –saya diminta jadi koordinator penyair muda Bandung- sungguh sangat mengejutkan bahwa ternyata acara itu dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Kota Payakumbuh (DKKP) bekerjasama dengan Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Payakumbuh dan Dewan Kesenian Sumatera Barat. Di sinilah titik pangkal silang pendapat pendapat antara penyair muda Bandung dengan panitia.

Silang pendapat ini sebenarnya telah coba diurai dan dicari titik temunya. Namun tetap saja dua belah pihak kukuh pada pendiriannya. Akhirnya penyair muda Bandung bersepakat untuk tidak berpartisipasi dan menolak klaim panitia yang menyatakan bahwa TPLK adalah kelanjutan dari dua acara sebelumnya.

Puncaknya adalah ketika pernyataan Iyut Fitra sebagai ketua pelaksana TPLK yang dimuat di salah satu media nasional, Kompas, yang tetap mengklaim bahwa TPLK merupakan kelanjutan dari dua acara temu penyair muda sebelumnya. Sehari setelah pernyataan itu ditayangkan, 13 orang penyair muda Bandung yang menggagas dan ikut terlibat dalam dua acara sebelumnya membuat surat pernyataan yang memuat poin utamanya adalah menolak klaim bahwa TPLK bukanlah kelanjutan dari TPMJBB dan TPMEK.

Surat pernyataan itu disusun dan ditandatangani oleh 13 penyair muda tersebut dengan penuh kesadaran untuk menunjukan sikap konsisten pada gagasan awal acara temu penyair muda, tentu dengan telah mempertimbangkan segala konsekuensinya.

Penutup

Sengaja saya mengawali tulisan saya ini dengan kutipan “Yang ironis, justru yang paling keras menolak acara Temu Penyair Lima Kota ini adalah penyair dari Bandung berdarah Minangkabau”. Walau tidak disebut secara eksplisit nama penyair dari Bandung yang berdarah Minangkabau itu, saya dan kita semua dapat menduga “hidung Malin Kundang” mana yang ditunjuk oleh SMM. Saya hanya ingin meluruskan bahwa 13 orang penyair muda Bandung yang menandatangani Surat Pernyataan itu sama-sama menolak keras klaim TPLK adalah kelanjutan dua acara sebelumnya.

Kemudian saya hanya dapat tersenyum sambil balik bertanya dalam hati, lebih ironis mana ya, kalau seorang individu (penyair) kehilangan kekritisannya hanya karena persoalan primordial atau kesukuan?(©sangdenai)

No comments: